Sejarah adalah ilmu mengenai kisah-kisah perkembangan manusia yang unik pada waktu dan tempat tertentu. Kisah–kisah yang terjadi dalam sejarah dapat dibedakan menjadi dua arti antara sejarah dalam arti objektif dan sejarah dalam arti subjektif. Sejarah dalam arti objektif, adalah kejadian atau peristiwa yang sebenarnya (History of Actually). Sejarah dalam arti subjektif (History of Record) adalah pengkisahannya, dalam pengkisahannya harus menggunakan secara benar sumber-sumber bukti peninggalan peristiwa itu terjadi yang bersifat akurat dan kredibel, baik berupa benda-benda (artifact) maupun dokumen-dokumen tertulis. Bahan-bahan ini menjadi sumber sejarah. Hanya dengan mencari sumber-sumber informasi inilah, kegiatan mencari sumber sejarah dalam ilmu sejarah disebut heuristik,sejarawan dapat membuat rekontruksi peristiwa masa lampau dan menulis uraian sejarah sering disebut juga History as written atau Historiografi (1).
Menulis sejarah bukan perkara mudah. Impian agar sejarawan bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas tidak mungkin terwujud. Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, sejarah tetap akan dilihat dari perspektif tertentu, dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Sejarah, seperti kita tahu adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang (2).
Tapi ini tidak berarti bahwa kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan.
Setiap upaya mengungkap misteri sejarah hampir selalu mengundang kontroversi. Sebab, misteri sejarah itu sendiri meninggalkan sikap ambivalen. Di satu sisi ada hasrat yang menggebu untuk ingin tahu; tetapi di sisi lain ada keraguan apakah hasrat ingin tahu itu bisa terpuaskan.
Keraguan itu sendiri bersumber dari kondisi bahwa suatu peristiwa atau episode atau tokoh sejarah disebut diselimuti misteri karena jejak-jejak historis yang ditinggalkannya – apapun bentuknya – sangat tidak mencukupi sebagai bahan rekonstruksi masa lalu. Itulah sebabnya orang cenderung menerima narasi sejarah yang telah menjadi semacam “kesepakatan umum”, namun tetap tak mampu membunuh, jika bukan memelihara, hasrat ingin tahu itu. Tidaklah mengherankan, munculnya setiap upaya mengungkap misteri sejarah dengan menyodorkan “fakta-fakta baru” hampir selalu mengundang antusiasme publik. Tetapi, hal ini tidak dengan sendirinya membuat “fakta-fakta baru” itu diterima sebagai “kebenaran baru”. Di sinilah letak kontroversi itu.
Sebenarnya, kontroversi itu bisa diminimalisir, jika tidak bisa dihindari sama sekali, apabila sejarawan atau siapapun yang menyodorkan “fakta-fakta baru” itu tidak berpretensi mengungkap misteri sejarah itu secara keseluruhan. Dibutuhkan suatu kerendahan hati bahwa “fakta-fakta baru” itu hanya mengungkap sebagian misteri. Itupun harus dibarengi dengan kesediaan bahwa “fakta-fakta baru” itu siap diuji oleh siapapun. Agar “fakta-fakta baru” itu tahan uji, si sejarawan itu sendiri harus bersedia terlebih dahulu mengujinya sendiri setuntas mungkin. Di sini si sejarawan bukan hanya dituntut bekerja keras untuk mengumpulkan data di tengah kelangkaan sumber, tapi juga berpikir keras menguji data itu kalau perlu secara berulang-ulang sampai pada suatu titik jenuh.
Melihat prosedur normatif yang berliku semacam itu, maka sejarawan yang berpretensi mengungkap misteri sejarah, entah sebagian apalagi secara keseluruhan, sebenarnya termasuk “manusia ulet dan pemberani”. Ia ulet mengais data di tengah kelangkaan sumber. Ia berani menguji data yang terbatas itu sebelum mengangkatnya dan mengumumkannya sebagai “fakta-fakta baru”. Tetapi, yang paling pokok adalah bahwa ia berani bertarung melawan “keraguan publik”. Jika berhasil, karyanya akan dikenang sebagai “pembawa pencerahan”. Jika gagal, publik mungkin akan mencibirnya sebagai “pencari sensasi” (3).
Historiografi
Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawawan itu hidup. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya.
Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karya-karyanya.
Dalam sebuah penulisan sejarah sejarawan tidak diperbolehkan untuk mengkhayal hal-hal yang menurut akal tidak mungkin telah terjadi. Dalam sebuah penulisan sering harus mengkhayal hal-hal yang kiranya telah terjadi. Namun, sering terjadi mengkhayal hal-hal yang kiranya pasti telah terjadi. Sehingga dalam sebuah penulisan sejarah tidak mungkin untuk merumuskan mengenai aturan-aturan penggunaan imajinasi. Di dalam sejarah kecuali dengan ketentuan-ketentuan yang sangat umum sifatnya(4).
No comments:
Post a Comment