Hikayat Penyemangat Jihad Menu Sejarah Manusia

"Perhatikan Masa Lalu mu, untuk hari esok mu"

Post Top Ad

Wednesday 15 March 2017

Hikayat Penyemangat Jihad


Salam alaikom walaikom teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi…ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah…ya Allah pahala prang sabi
Ureueng syahid la syahid bek ta khun mat
Beuthat beutan…ya Allah nyawoung lam badan
Ban sar keunung la keunung senjata kaf la kaf
Keunan datang…ya Allah pemuda seudang

Sastra bukan sekedar kata… jaman dulu, sastra adalah bagian dari kehidupan. Sastra adalah ungkapan realitas kehidupan, sastra adalah gambaran harapan dan jutaan keinginan, sastra adalah penyemangat kehidupan. Diantara sejarah nusantara yang melekatkan antara sastra dan semangat kehidupan adalah sejarah Aceh. Salah satu yang istimewa dari khazanah kesusastraan Aceh ialah banyaknya sastra yang menggelorakan semangat jihad fi sabilillah. Diantara karya sastra-klasik penggelora semangat jihad fi sabilillah adalah hikayat.

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam bahasa melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Hikayat merupakan karya kreatif; hasil pemikiran, pengalaman, ataupun daya hayal (fiksi) pengarangnya. Selain itu terdapat juga sejumlah hikayat yang merupakan hasil terjemahan atau saduran (adaptasi) dari sumber cerita luar.

Hikayat  dituturkan oleh shahibul-hikayat atau tukang cerita, secara lisan dan diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan hikayat yang ditulis pun sebenarnya dimaksud untuk dibacakan kepada khalayak peminat. Dengan begitu, kitab hikayat dan shahibul-hikayat merupakan faktor utama; kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai media penyebar informasi pemikiran Islam, dakwah maupun hiburan di Nusantara.
Kitab Hikayat Prang Sabi

Kitab Hikayat Perang Sabil (Hikayat Prang Sabi) yang mempunyai andil (saham) besar dalam sejarah Islam Nusantara (Indonesia). Diakui berbagai pihak, telah berhasil membakar semangat juang Muslim Aceh dalam melawan penjajah Kolonial Belanda. Dan di sisi lain Pengarangnya juga berhasil menanam benih-Jihad dalam jiwa, ruhani mereka; sebagai inti perjuangan umat Islam bangsa Indonesia di Nusantara.

Hikayat Prang Sabi adalah salah satu inspirator besar dalam menentukan perjuangan rakyat Aceh, sebuah hikayat yang diciptakan atau dikarang oleh Tgk Chik Pante Kulu yang merupakan sebuah syair kepahlawanan yang membentuk suatu irama dan nada yang sangat heroik yang membangkitkan semangat para pejuang Aceh dari zaman penjajahan portugis sampai zaman penjajahan Belanda.

Di zaman perang Aceh, kitab ini dipandang oleh pemimpin tentara dan pentadbiran pemerintah militer Hindia Belanda sebagai “senjata” yang sangat berbahaya. Sehingga karenanya mereka larang membaca, menyimpan dan mengedarkannya. Tindakan tersebut bukan tanpa alasan. Setiap terjadi pemberontakan, perlawanan dan penyerbuan ke tangsi-tangsi militer atau penikaman cara perorangan terhadap pasukan tentara atau perorangan Belanda[1].  Apabila diselidiki; ternyata bahwa Hikayat Perang Sabil telah memainkan peranannya.

Seorang pengarang Belanda Zentgraaf menulis sbb:

Para pemuda meletakan langkah pertamanya di medan perang atas pengaruh yang sangat besar dari karya-sastra ini (Hikayat Prang Sabi) menyentuh perasaan mereka yang mudah tersinggung … karya-sastra yang sangat berbahaya …
Menurut Zentgraaf, hikayat perang sabil karangan ulama Pante Kulu telah menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Belanda, sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan-apalagi membaca hikayat perang sabil itu mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda dengan membuangnya ke Papua atau Nusa Kembangan. Sarjana Belanda ini menyimpulkan, bahwa belum pernah ada karya sastra di dunia yang mampu membakar emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali hikayat perang sabil karya Pante Kulu dari Aceh. Kalau pun ada karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa Revolusi Perancis, dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh hikayat perang sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu.

Seorang serjana barat lain, Prof. Dr. Anthoni Reid, ahli sejarah bangsa Autralia berkata:

… Kegiatan para Ulama sekitar tahun 1880, telah menghasilkan sejumlah karya-sastra baru yang berbentuk puisi kepahlawanan popular dalam lingkungan rakyat Aceh. Hikayat Perang Sabil adalah paling masyhur dalam membangkitkan semangat perang-suci …
Itu sebabnya, Ali Hasjmy menilai bahwa hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu telah berhasil menjadi karya sastra puisi terbesar di dunia. Menurut Hasjmy, pengaruh syair hikayat perang sabil sama halnya dengan pengaruh syair-syair perang yang ditulis oleh Hasan bin Sabit dalam mengobarkan semangat jihad umat Islam di zaman Rasulullah. Atau paling tidak, hikayat perang sabil karya Chik Pante Kulu dapat disamakan dengan illias dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman “Epic Era” Yunany sekitar tahun 700-900 sebelum Mesehi.

Kitab Hikayat Perang Suci – setelah kita teliti — dibacakan di halayak ramai dengan dua tujuan utama; pertama, merekrut (mobilisasi rakyat) para pemuda untuk berperan aktif dalam perang melawan penjajah, Belanda. Ke-dua, untuk mengumpulkan dana; biaya perang secara cepat dan praktis. Dapat kita katakan kedua-duanya tujuan itu berhasil dicapai. Hanya saja kita tidak mempunyai gambaran tepat bagaimana kitab tersebut diguna-pakai dalam masa perang. Barangkali kita coba — berimajinasi bersandarkan pengalaman mendengar Hikayat dibacakan – melukiskannya; Seorang tukang cerita atau shahibul-hikayat mendendangkan syair hikayat dengan suaranya yang khas dan para pendengar akan berperan aktif dibagian-bagian hikayat yang menggugah perasaan mereka. Misalnya dalam menunjukan kebencian terhadap kafir penjajah atau dalam kalimat-kalimat tauhid yang dibacakan:

La ilaha illa-Allah.
Tammatlah kissah Mujahid takwa.
Muhammadur-Rasulullah.
Amalan indah memerangi Belanda.

Perhatikan terjemahan yang kita salin di atas sya’ir nomer (65); yang kata-kata asalnya adalah kalimat-tauhid “la ilaha illa-Allah, Muhammad Rasul-Allah”. Dalam kitab Hikayat Perang Sabil kita jumpai kalimat tersebut di beberapa tempat; terutama saat terjadi pergantian kisah ke satu kisah lainnya. Maka dapat kita bayangkan kalimat-ikhlas tersebut berkumandang bergemuruh di kampung ataupun di arena keramaian membaca Hikayat berlaku. Selain itu, dapat kita pahami, suatu perkara yang mustahil; kisah-kisah dalam Hikayat Perang Sabil dapat selesai dibaca dalam satu kesempatan.

Pada lazimnya, kisah dalam hikayat sudah biasa diketahui orang ramai, bahkan ramai yang telah mengingat atau menghafalnya. Oleh karena itu, shahibul-hikayat hanya perlu mengulang beberapa potongan dari kisah-kisah berkaitan dan ditutup dengan pendaftaran pemuda-pemuda yang ingin berperang serta melakukan penghimpunan dana biaya perang. Tetapi tidak mustahil apabila kitab Hikayat ini dibaca secara perorangan, akan dapat juga menimbulkan peristiwa sebagaimana yang dicatat ANZIB; iaitu:

Penyalin naskah ini pernah mengetahui ada orang yang bernama Leem Abah, penduduk kampung Peurada kemukiman Kajeeadang daerah XXVI Mukim (sekarang Kecamatan Inginjaya). Pada suatu malam dia mendengar orang membaca Hikayat Perang Sabil. Besoknya tanpa diketahui sesiapa, pada pagi-pagi buta dia telah berada di Pekan Aceh di depan Societeit Atjeh Clup (sekarang Balai Teuku Umar), di mana dijumpainya seorang Belanda lagi berjalan-jalan, lantas dengan mendadak Leem Abah menghunus rencongnya yang disembunyikan dalam lipatan kain dan ditikam Belanda itu tepat pada dadanya, hingga jatuh telentang dan mati terus di situ juga.

Menurut Prof. A. Hasjmy, kitab Hikayat Perang Sabil merupakan karya agung, sastra-perang dari Teungku Chik Pante Kulu, bernama Haji Muhammad lahir dalam tahun 1251H/1836M di desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, berasal dari suatu keluarga ulama yang ada hubungan kerabat dengan kelompok ulama Tiro. Di masa remajanya, beliau belajar di Dayah Tiro, dibawah asuhan Teungku Haji Chik Muhammad Amin Dayah Tjut; seorang ulama Tiro yang mempunyai pengaruh besar di Aceh.  Atas saran dan nesehat gurunya itu pula, beliau melanjutkan pelajaran ke Makkah al-Mukarramah dan sempat bermukim disana selama 4 tahun.

Teungku Chik Pante Kulu diperkirakan kembali dari Tanah Suci Makkah tahun 1881M; bertepatan dengan masa berkecamuknya Perang Sabil; antara Kerajaan Aceh Darussalam menghadapi penjajah kolonial Kerajaan Belanda di tanah Aceh. Kepulangan beliau didorong oleh semangat patriot, mujahid Islam, untuk memperkuat barisan Mujahidin (pejuang-pejuang) yang dipimpin sahabatnya sendiri, iaitu; Teungku Chik di Tiro, Muhammad Saman yang telah diserahi tugas oleh Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang berkedudukan ketika itu di Keumala Dalam, dilantik sebagai Wazir Sultan, Komandan, Imam perang semesta melawan serdadu-serdadu kolonial Belanda. Berdasarkan apa yang dikatakan Abdullah Arif, selain dari Hikayat Perang Sabil yang terkenal itu, masih ada lagi karya Teungku Chik Pante Kulu yang berbentuk prosa dan puisi, baik dalam bahasa Melayu atupun bahasa Aceh, tetapi tidak begitu luas tersebarnya.

Kitab Hikayat Perang Sabil, beliau tulis di kapal; dalam perjalanan antara Jeddah dan Penang. Karya tersebut dibuat atas permintaan dari Teungku Chik di Tiro yang dia panggil sebagai “kakanda”. Dari syair yang dituliskan pada mukaddimah kitab kita temukan maksud ditulisnya Hikayat; iaitu memberi semangat (motivasi) juang dalam Perang Sabil menghadapi penjajah Belanda, yang dapat kita sebut sebagai “Dakwah-Jihad” (Propaganda-Perang) di Jalan-Allah:

(1)  Alhamdulillah Tuhan Pencipta
Alam semesta karunia Ilahi.
Arasy tinggi, sorga dan neraka.
Langit bumi, segala isi.

(2)  Setelah itu salat dan salam
Untuk Junjungan penghulu Nabi
Demikian pula sahabat kenalan.
Muhajirin dan Ansar pejuang asli.

(3)  Setelah puji salat dan salam
Sewarkah hadiah hamba sembahkan.
Dengan hidayah Khalikul Alam.
Hikayat Perang Sabil hamba kissahkan.

(4)  Pekabaran Al-Quran akan direka.
Pinta kakanda pada adinda,
Menolak kehendak layak tiada.
Meski karangan kurang sempurna.

(5)  Benarlah ini amalan terpuji.
Semoga Ilahi beri pahala.
Berguna hendaknya bagi semua
Handai tolan sahabat segala.

(6)  Ganti memberi keris berdulang
Lumbung padi berderet rapi
Ganti pusaka pucuk kerawang.
Inilah rangkaian intan berduri.
———

(7)  Wahai saudara, adik dan abang,
Jangan bimbang, mari berperang.
Tak usah hiraukan hulubalang,
Mereka lah sesat ikut setan.

(8)  Mengapa Agama tersia-sia
Dunia laksana akan fana
Ulama membisu bicara tiada,
Medan perang sunyi tiada bergema?

(9)  Manusia penaka kehilangan diri,
Jihad tiada hiraukan lagi.
Tinggal seorang berakal-budi,
Teungku di Tiro teladan Nabi
(10)  Yakinlah saudaraku sayang,
Ada firman dalam Al-Quran
Berperang di Jalan Allah
Adalah penghulu ibadat.
Sosial politik masyarakat

Kalau kita perhatikan kata-kata yang digunakan dalam pendahuluan syair Hikayat: “Tak usah hiraukan hulubalang” (7), dan; “Ulama membisu bicara tiada” (8), serta; “Manusia penaka kehilangan akal” (9). “Tinggal seorang berakal-budi, Teungku di Tiro teladan Nabi” (10). Semuanya memberi gambaran politik-militer dan sosial budaya masyarakat di Aceh di tahun-tahun 1881, iaitu tahun dikarangnya Hikayat Perang Sabil. Hulubalang; sebagai tulang punggung Kerajaan telah berpangku tangan, tidak menghiraukan Negara dan rakyatnya. Ulama dibungkam tidak dapat bicara lagi. Mereka yang cerdik-pandai hilang pedoman dan pegangan untuk berjuang. Hanya ada seorang Teungku Chik di Tiro, Imam Pemimpin yang sanggup berjihad membela Islam dan rakyatnya.

Semua itu terjadi setelah berlakunya Perang Aceh yang cukup lama; iaitu, bermula dari Surat Pernyataan Perang Kerajaan Protestan Belanda  26 Maret 1873 yang ditanda tangani oleh: Nieuwenhuijzen, Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh dari atas kapal perang “Citadel van Antwerpen”. Kemudian dilanjutkan jatuhnya pusat pemerintahan Kerajaan Aceh di “Kotaraja”, 16 Maret 1874 dan Pusat pemerintahan dipindahkan ke pedalaman; mula-mula ke Lungbata, kemudian ke Indrapuri dan seterusnya Keumala Dalam. Dengan begitu, untuk selanjutnya perang atas nama Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Panglima Perangnya; Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, Ulama-Mujahid Perang Sabil.

Kandungan Kitab Hikayat

Karya Hikayat Perang Sabil mengandung 4 kisah yang berbeda, yang mempunyai satu topik utama; iaitu, berjuang di Jalan-Allah. Prof. Ali Hasjmy  menerangkan, kisah-kisah tersebut berupa cerita fiktif yang mempunyai dasar latar belakang (setting) sejarah Islam. Beliau telah membuat ringkasan dari kisah-kisah tersebut; yang akan kita salin secara global sebagai berikut:

 Kisah Ainul-Mardliyah.

Kisah berlatar belakang zaman awal Islam; dimana Nabi Muhammad SAW bersama-sama kaum Muhajirin dan Ansar telah dapat mendirikan pusat pemerintahan Negara Islam di Yastrib (1H/622M), dengan ibu kotanya Madinah an-Nabi al-Munawarrah, yang lebih dikenal dengan sebutan Madinah saja. Sejak itu dan seterusnya, Allah Ta’ala menurunkan ayat-ayat-Nya berkaitan perang bagi menjaga keselamatan Agama, Negara dan rakyat. Izin pertama perang tercatat dalam al-Quran, Surah al-Hajj ayat 39; “Izin berperang telah diberi kepada kaum muslimin yang teraniaya” dan Surah al-Baqarah, ayat 190-191; “berperanglah di Jalan-Allah (Perang Sabil) untuk melawan mereka yang memerangi kamu,…”. Dalam Tarikh (sejarah) Islam dicatat rangkaian peperangan yang dilakukan orang-orang yang beriman bersama Nabi mereka, Muhammad SAW; dari Perang Badar (2H) hingga perang Tabuk (11H). Semua peperangan di masa Nabi Muhammad SAW terjadi sebanyak 27 kali pertempuran, yang dikomando langsung oleh beliau sebanyak 27 kali, sedangkan sisanya dipimpin oleh para sahabat beliau.

Dalam kisah Ainul-Mardliyah diceritakan; Seorang pendakwah-jihad, salah seorang komandan pasukan Perang Sabil bernama Abdul-Wahid sedang memobilisasi pemuda untuk berperang di Jalan-Allah. Dikisahkan, dalam perjalanan menuju medan-jihad, seorang pemuda dalam pasukannya; belia muda berusia 20 tahunan telah bermimpi; dibukakan Allah Ta’ala baginya keindahan dan kenikmatan al-Jannah bertemu dengan bidadari, putri cantik jelita, bernama Ainul-Mardliyah. Bidadari yang hanya diperuntukan bagi mereka yang gugur syahid di medan bakti, Jalan-Allah.

 2. Kisah Pasukan Gajah.

Peristiwa Pasukan Gajah dibawah pimpinan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’abah, oleh penyair diambil sebagai tamsil ibarat, untuk menjadi perhatian rakyat Aceh yang sedang berperang melawan penjajah Belanda. Pengarang memperingatkan, bahwa kalau rakyat Aceh sendiri tidak mau berjihad memerangi Belanda, nanti Allah akan kirim pasukan lain untuk melawannya; sebagaimana yang berlaku pada Tentara Bergajah, Kerajaan Romawi (Kristen) dari Yaman (570M).

3. Kisah Sa’id Salmi.

Kisah Sa’id Salmi ini merupakan suatu cerita fiktif yang dijalin pengarang dalam bentuk puisi. Kejadiannya di zaman hidup Nabi Muhammad SAW, iaitu di zaman Madinah. Dikisahkan seorang pemuda bernama “Sa’id Salmi”, seorang budak turunan Habsyi yang telah dimerdekakan tuannya. Rupanya buruk sekali, hitam pekat, dengan muka penuh parut-parut bekas diiris pisau. Belum beristri, karena tiada seorangpun yang mau bersuamikan dia. Dikabarkan bahwa dia telah masuk Islam secara rahasia.

Pada suatu hari dia datang menghadap Rasulullah. Ditanyakannya kepada Rasul, apakah dalam Islam seorang bekas budak yang buruk seperti dia, sama dengan orang-orang Islam lainnya; mendapat balasan yang serupa di akhirat nanti. Pada waktu itu Rasulullah SAW menerangkan; Menurut ajaran Islam, semua penganutnya sama derjat di sisi Allah. Akan mendapat balasan yang serupa di akhirat nanti; siapa berbuat baik masuk surga dan kalau berbuat jahat masuk neraka. Biar seorang bangsawan Quraisy, kalau berbuat mungkar akan disiksa dalam neraka, dan budak hitam dari Habsyi kalau berbuat makruf akan diberi nikmat kurnia dalam surga.

Rasulullah SAW juga menerangkan; siapa saja yang pergi berperang di Jalan-Allah dan mati syahid, dia akan dibalas dengan surga; yang penuh dengan bermacam kesenangan dan kenikmatan, dengan bidadari yang cantik jelita. Kata Nabi SAW, tidak ada beda antara orang Arab dengan Ajam. Tidak ada beda antara orang kaya dengan orang miskin. Dan tidak ada beda antara orang putih dengan orang hitam. Mendengar penerangan itu, Sa’id Salmi menyatakan Islam-nya dihadapan Nabi SAW, meski pun pada hakekatnya dia telah masuk Islam beberapa bulan yang lalu. Seterusnya dia bertekad dan berjanji akan ikut serta dalam Perang Sabil – bila datang seruan nanti – untuk menegakkan kebenaran Islam.

4. Kisah Budak Mati Hidup Kembali

Kisah ke-empat yang menjadi tema dari Hakayat Perang Sabil; ialah, Kisah Budak Mati Hidup Kembali. Cerita ini fiktif, yang dirangkai dengan peristiwa zaman hidup Rasulullah SAW; dalam mata-rantai peperangan yang berkecamuk antara Angkatan Perang Pemerintah Islam di bawah pimpinan Muhammad SAW menghadapi serdadu-serdadu kafir, baik kafir musyrik Quraisy, kafir Yahudi ataupun kafir Nasrani. Seperti kisah-kisah yang lain, kisah ini pun bertujuan untuk memotivasi perang dalam lingkungan muslim Aceh melawan Belanda penjajah.

Apabila kita coba cermati; rahasia (sir) kekuatan sebenar Kitab Perang Sabil bukan hanya pada isi ataupun cara penyampaiannya. Lebih jauh dari itu – hakekatnya –, ianya mengandungi Ruh-Jihad yang telah wujud sejak permulaan Islam. Siir yang dapat menukar dan merobah (transform) kehidupan fana kepada kehidupan abadi (baqa’); kesenangan dunia kepada kenikmatan akhirat. Membuat hidup dan kehidupan manusia bermakna dan penuh arti. Sastrawan Mujahid; Haji Muhammad, Teungku Chik Pante Kulu telah berhasil memperoleh apa yang diidam-idamkannya:

Benarlah ini amalan terpuji.
Semoga Ilahi beri pahala.
Berguna hendaknya bagi semua
Handai tolan sahabat segala.
Ganti memberi keris berdulang
Lumbung padi berderet rapi
Ganti pusaka pucuk kerawang.
Inilah rangkaian intan baiduri.

Rangkaian Intan baiduri, yang bermanfaat bagi insan beriman (muslim) dan layak beliau memperoleh pahala, ganjaran di sisi Allah Azza wa Jalla. Intaha…
*Kiriman artikel dari MSF : Kitab Hikayat Perang Sabil: Sebuah Dokumentasi Sejarah Perang abad 18-19M di Nusantara Indonesia.

Catatan penulis.

Sayangnya sampai saat ini belum tersedia terjemahan lengkap dalam bahasa Indonesia. Hikayat Perang Sabil dibaca dengan eksen bahasa Aceh: Hikayat Prang Sabi, sedangkan tulisan Arab-Melayunya adalah; ha, kaf, alif, ya dan ta’ marbuthah (dibaca: Hikayat), fa, ra dan ‘ng (dibaca: prang atau Perang) dan sin, ba, ya dan lam (dibaca: Sabil).

Tulisan ini disadur dari buku karya A. Hasjmy, berjudul: Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan  Agressi Belanda, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Pertama tahun 1977.

Artikel ini mengingkatkan penulis tahun 70an di Jakarta mendengar Shahibul-Hikayat Jait di Radio; membawakan kisah-kisah hikayat 1001 malam.

(Buat Pak MSF : Mohon maaf dengan segala keterbatasan, tidak semua tulisan tertampilkan. Semoga isi esensinya dapat mewakili apa yang diharapkan dari tulisan ini… hatur tangkyu atas kontribusinya)
[1] Koran Belanda akan menulisnya dengan peristiwa amok; iaitu mengamuk. Kosa-kata Amok yang masuk dalam bahasa Belanda dan Inggeris dapat kita katakan sebagai pengaruh tidak langsung dari Kitab Hikayat Perang Sabil. MSF

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad