Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, 1873-1904 Menu Sejarah Manusia

"Perhatikan Masa Lalu mu, untuk hari esok mu"

Post Top Ad

Wednesday, 28 September 2016

Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, 1873-1904




Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, & mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.

Penyebab Terjadinya Perang Aceh

Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Strategi Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda

Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.
Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer & sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.

Kronologi Perang Aceh Pertama

Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan.
Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler & sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di saat yg kedua kalinya tewaslah Köhler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavaljé namun tak dapat menduduki lebih lanjut karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka. Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa.
Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi & menimbulkan “perang kertas” sesudah Perang Aceh I [dokumen & tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].
Penyelidikan itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang sesudah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang tunjangan pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874″ pada pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en Trouw.

Perang Aceh Kedua

Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873 sesudah kegagalan serangan pertama. Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8. 500 prajurit, 4. 500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1. 500 pasukan. Pasukan Belanda & Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873 sampai April 1874.
Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir mereka telah menang perang. Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan & dianeksasi. Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, & sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].
Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, & tempat-tempat lain.

Perang Aceh Ketiga,

Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang Aceh Keempat

Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902].
Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2. 922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari 1. 773 laki-laki & 1. 149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap & diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring, Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda.
Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat]. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].


No comments:

Post a Comment

Post Top Ad