Perlawanan Masyarakat Minangkabau menghadapi Kolonialisme Menu Sejarah Manusia

"Perhatikan Masa Lalu mu, untuk hari esok mu"

Post Top Ad

Tuesday 21 February 2017

Perlawanan Masyarakat Minangkabau menghadapi Kolonialisme


A. Latar Belakang

            Perang Padri adalah yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama dan berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

            Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung,juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda. Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam. Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol. Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap. Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838. Alam Minangkabau menjadi bagian dari pax neerlandica.              
            Perundingan Residen Belanda mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku menyatakan bersedia melakukan perundingan dengan Residen atau dengan komandan militer. Perundingan itu tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku datang ke tempat berunding tanpa membawa senjata. Tapi perundingan tidak terlaksana. Tuanku Imam Bonjol yang datang menemui panglima Belanda untuk berunding, malah ditangkap dan langsung dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan ke berbagai daerah hingga meninggal dunia tahun 1864. Kolonel Elout mempunyai dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Sentot Ali Basya dengan kehadirannya di Sumatera. Sentot, setelah usai Perang Jawa, masuk dinas Pemerintah Belanda. Kehadirannya di Jawa bisa menimbulkan masalah. Ketika Kolonel Elout melakukan serangan terhadap Paderi tahun 1831-1832, dia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot yang telah membelot itu. Setelah pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan persekongkolan dengan kaum Paderi. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa. Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan ke sana Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu di mana dia tinggal sampai mati sebagai orang buangan. Pasukannya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam tentara Hindia.


B. Jalannya Perang

  • Periode  1821-1825


            Pada bulan april tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum padri melawan belanda dan kaum adat disulit air dekat danau singkarak. Belanda mengirimkan tentaranya dari batavia dibawah pimpinan letkol Raaf dan berhasil menduduki batusangkar dekat pagaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama fort van der Cappelen. Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian antara belanda dengan kaum padri dipadang yang pada pokoknya tidak akan saling menyerang.

  • Periode  1825-1830

            Pada periode ini belanda juga sedang menghadapi perang diponegoro sehingga perjanjian perdamaian sangat menguntungkan belanda. Untuk mengahadapi kaum padri, belanda membangun benteng yang disebut Fort de kock (nama panglima Belanda) di Bukittinggi.
  • Periode  1831-1837

            Belanda bertekat mengakhiri perang padri stelah dapat memadamkan perang diponegoro. Tindakan yang dilakukan belanda adalah mendatangkan pasukan yang dipimpin oleh letkol elout kemudian mayor Michaels dengan tugas pokok menundukan kaum padri yang berpusat di pagaruyuan. Tahun 1842,   pemberontakan Regent Batipuh meletus. Akhir perang Paderi, Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Letnan Kolonel Bauer, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi. 

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan  berdinas dalam tentara Belanda. Belanda menggunakan 2 benteng sebagai pertahanan selama perang Padri,Fort de Kock dan Fort van der Capellen di Batusangkar. Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mahamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga oleh 100 orang. Yang memberi perintah ialah Tuanku Imam Bonjol dengan pertahanan enam meriam di daerah gunung. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit. Perang 1833.

            Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan serdadu Kompeni. Hal ini memicu kembali peperangan. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Kolonel Elout membalas dendam dengan cara memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang menghadap. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Setelah kejadian ini Sultan Bagagarsyah Alam dari Pagaruyung dibuang ke Batavia.

            Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Paderi. Di antara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto. Ada juga Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kini telah menyadari bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi kaum paderi, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang (1833) berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Kompeni ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari", membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi. Akhirnya benteng Bonjol jatuh juga untuk kedua kalinya pada tahun 1837.


DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Noto S. 1984. Sejarah Nasional Jilid   VI.Jakarta : balai Pustaka
Ricklees. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2008.

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad