“1808 – 1811 ( Hw. Daendels )”
Perubahan kekuasaan pada Negara-negara di Jawa untuk pertama kali terjadi pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Negeri Belanda telah dibawah kekuasaan Inggris sejak tahun 1795. Sehubungan desentralisasi cukup besar Napeleon Bonaparte mengakat adiknya Louis Bonaparte sebagai penguasa pada tahun 1806. Louis Bonaparte mengirim Marsekal Hermar W. Daendels berangkat pada tahun 1807 dan sampai di Indonesia tahun 1808. Tahun 1808 walaupun Indonesia dibawah kekuasaan Belanda tetapi dibawah kekuasaan Inggris masih tetap dikelola seperti pada masa VOC. sistem administrasi yang dijalankan tetap seperti masa VOC, memonopoli dan mengeksplotasi kekayaa alam tetap menjadi kunci, dan dengan demikian sampai abad pertengahan ke-19 kepentingan perdagangan merupakan hal yang paling penting dalam imperialisme Belanda. Baru pada akhir abad ke-19 politik kesejahteraan diterapkan sehubungan dengan diperlukan pasar untuk barang hasil industri yang makin berkembang.
Sebagai Gubernur Jenderal di Batavia Daendels (1808-1811) kedatangannya membawa tugas khusus. Dia harus memeperkuat Jawa sebagai daerah basis untuk menghadapi Inggris di Lautan Hindia[1]. Daendels seorang pemuja prinsip revolusioner sehingga dia membuat Jawa menjadi suatu perpaduan antara semangat pembaharuan dengan metode kediktatoran, namun hanya menuai hasil yang sedikit. Namun Daendels kurang suka terhadap penguasa di Jawa ( Bupati ) yang memerintah secara feodal sehingga muncul antifeodallisme, padahal mereka merupakan sebagian kecil pegawai administrasi Eropa, sehingga Daendles mengurangi pendapatan mereka.
Di Jawa Gubernur Jenderal Daendels membuat peraturan baru, dengan adanya peraturan baru mengenai penerimaan residen di istana pada tatanan pemerintahan Surakarta dan Yogyakarta. Menurut peraturan baru ini Residen di kerajaan-kerajaan itu diberi penghormatan sebagai wakil dari suatu kekuasaan tertinggi di tempatkan sejajar dengan raja. Di Surakarta peraturan Daendels diterima tetapi tidak di Yogyakarta. Sultan Hameng kubuwono II atau Sultan Sepuh menentang peraturan ini tahun 1810 dipaksa turun dari tahtanya dengan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Daendels sendiri. Sebagai penggantinya diangkat putra mahkotanya menjadi raja dengan gelar Hamengku Buwono III atau Sultan Rojo. Peristiwa ini memberi kesempatan pada Daendels untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta menerima perjanjian baru pada tahun 1811 yang mengakibatkan kedua negara itu kehilangan sebagian wilayahnya. Sehingga hampir seluru kekuasaan Mataram dikuasai oleh Daendels pada masa ini.
Daendels juga mengambil tindakan tegas dan keras terutama dibidang administrasi pemerintah dan juga disamping melaksanakan sistem pemerintahan baru. Dibidang administrasi pemerintah ia berusaha memberikan gaji tetap kepada pegawai negerinya, melarang mereka untuk menerima hadiah dan melarang sebagian mereka melakukan perdangangan, jumlah pengiring kebesan bupati dukurangi, semua kepala desa dan kabupaten akan di angkat oleh pemerintah, para residen baru harus melindungi rakyat dari penganiayaan dan pemerasan, Daendels juga menghapus penyerahan wajib benang – benang kapas yang bernilai di Pantai Timur Barat, dan pada tahun 1808 ia juga melarang penyewaan desa kecuali desa – desa yang hasil usahanya pengilingan gula – gula, pembuatan garam, pengumpulan sarang burung. Semua tindakan itu di ambil untuk mengurangi beban rakyat. Disamping itu Daendels juga menanbahkan beban kepada rakyat yaitu penanaman wajib kopi, yang belum lama siap di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diperluas oleh Daendels. Untuk membuat jaringan – jaringan pos dituntut untuk rodi yang berat. Jalan dibuat untuk kepetingan meliter tetapi akhirya menjadi penting untuk perekonomia[2].
Dibawah kekuasaan Daendels pembuatan jalan dan penanaman kopi sifat kerjasama tidak diperlemah malah diperkuat, peraturan yang dibuat Daendels banyak di awasi oleh orang – orang Eropa di daerah perdalaman, keadaan ini disebabkan karena Daendels memerintah secara sentralistik, sehingga memyebabkan pengaruh eropa tambah mendalam dan berusaha menghilang kedudukan bupati.
Sedangkan diluar pulau Jawa, pihak Belanda yang diperintah oleh Daendels hampir dikatakan tidak memiliki minat untuk menguasai wilayah yang di Luar Pulau Jawa, mereka hanya terfokus di Jawa sedang wilayah diluar palau Jawa itu sama sekali tidak begitu diharabkan. Jawa dan Madura merupakan satu kesatuan administratif yang dibuat oleh Belanda. Madura mempuyanyai nilai ekonomi yang besar sebagai pemasok utama garam untuk daerah – daerah yang dikuasai Belanda diseluruh Nusantara dimana garam sangat menguntungkan bagi Belanda. Sehingga Daendels pernah memberi nama para penguasa Madura yang diberi gelar “ Sultan “ kepada keturunan Cakraningrat dari Sumenep dan Bangkalan.
Banten dan Cirebon Daendels mempunyai pengaruh yang cukup besar da memperbesar pengaruh orang – orang Eropa. Peraturan yang dibuat Daendels di Banteng sangat keras dibanding diJawa, dengan tujuan menuntut kerja rodi untuk pekerjan – perkerjaan meliter hal ini juga yang menyebabkan perperang yang dilakukan daendels dengan kesultana banteng dan tak lama sesudah itu daendels meniggal indonesia. sebelum kekuasaan Daendels berakhir ia membuat sebuah praturan mengenai penetapan pajak tanah yang harus dibayar oleh perorangan dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan dikeluarkan tahun 1814, daerah ini yang menjadi pertama yang berlaku peraturan Daendels.
Bali merupaka sebuah pulau yang juga memiliki kerajaan – kerajaan sama sepertinya dijawa, namun Bali sangat berbeda dengan Madura, sehingga membuat pihak Belanda tidak mau terlibat secara angsung dengan pulau ini. Inggris yang pernah berkedudukan di Jawa melakukan perperang dengan Raja Beleleng dengan Karangasem untuk mengakhiri perbudakan di Bali tahun 1814, akhirnya Bali kalah dan menyerah namun hal perdagangan budak berjalan terus sampai tahun 1816. Setahun sebelum itu terjadi ledakan Gunung Tambora yang menyebabkan rangkaian tragedi alam, budaya, ekonomi, poitik yang memberi sejarah yang panjang dan sebuah kengeria yang melekat. Awalnya ekonomi Bali permulaan abad XIX sangat tergantung penjualan budak, mengimpor koin – koin tembaga, senjata dan khususnya candu berubah menjadi pengexspor hasil bumi dan danging babi[3].
Ketika awal abad XIX Belanda memasuki Sumatera namun sikapnya terhadap daerah di Sumatera berbeda – beda. Pada saat Belanda masuk ke Sumatera pada umumnya penguasa Sumatera beragama islam. Kerajaan tidak diperbolehkan lagi untuk memungut bea cukai masuk kapal – kapal, sedangkan kerajaan hanya menerima upeti tahunan dari penguasa – peguasa setempat. Namun hubungan raja dengan penguasa setempat semakin lemah, lebih – lebih adanya ikut campaur tangan Inggris dan Belanda. Sehingga kekuasaan pusat semakin mundur namun sistem pemerintahan pada umumnya tidak banyak berubah[4].
Pada masa pemerintahan Daendels dapat dikatakan dia tidak menganggu struktur ekonomi pergaulan tradisonal melainkan mengatur bahwa pengaruh barat dibawahnya telah mulai menyekesampingkan pangaruh bupati . Deandels adalah seorang pemuja Napeleon dengan penetapan mengenai keutamaan dari sistem pemerintahan setral dan amnistrasi negara yang kuat. Dijawa Daendels telah mewujudkan sebagian dari pendapatan tersebut.
Dengan jatuhnya pangkalan utama Prancis di Mauritius, pada buan Mei 1811 Napeleon menyuruh Daendels meninggalkan Indonesia dan digantikan oleh Willem janssens ( yang telah menyerahkan Tanjung Harapan kepada pihak Inggris tahun 1806 ) sedangkan pada ahkir 1810 Inggris sudah siap merebut jatung jajahan Belanda di Pulau Jawa. Pada tanggal 4 bulan Agustus 1811 Inggris melakukan serangan ke pada Belanda. Tanggal 26 Agustus Inggris berhasil menggalahkan Belanda. Sehingga Janssens mundur kearah Semarang sehinnga pada tanggal 18 September janssens menyerah didekat Salatiga. Belanda dan Inggris meyepakati suatu kesepatakatn “ Kapitulasi Tuntang” tanggal 18 September 1811. Kapitulasi tuntang adalah surat penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris atas seluruh pulu Jawa berserta pangkalan – pangkalanya. Penandatanganan dilakukan di Tuntang ( kawasan Salatiga, jawa Tenggah ) yang berisi : pemerintahan Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta ( India ), semua tawanan Belanda menjadi tawanan perang Inggris, orang – orang Belanda dapat diperkerjakan dalam pemerintahan Ingris.
Daftar Pustaka :
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Noto S. 1984. Sejarah Nasional Jilid VI.Jakarta : balai Pustaka
No comments:
Post a Comment