Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, & Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yg tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera & Selat Sunda. Perkembangan & ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada. Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tak diketahui dengan pasti.
Namun diperkirakan, ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar [sekarang di Provinsi Bengkulu]. Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten & Aceh.
Kejayaan Ujung Pagaruyung
Saat Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman. Inderapura menghentikan ekspansi tersebut dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri’ayat Syah [1568-1575]. Lewat hubungan perkawinan ini & kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja [Banda Aceh], bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dlm pembunuhan putra Sultan Ali Ri’ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Walau kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan para ulama di Aceh. Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 1588 salah seorang yg masih berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri’ayat Syah II atau Sultan Buyong, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.
Kerajaan Inderapura merupaken sebuah kerajaan yg berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu & Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan [vazal] Kerajaan Pagaruyung. Walau pada prakteknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dlm & luar negerinya. Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura ialah lada, & juga emas.
Putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyun
Secara etimologi Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, & dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada awalnya ialah kawasan rantau dari Minangkabau, merupaken kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatera. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yg ditunjuk dari Pagaruyung & bergelar Raja kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.
Pusat Wilayah Kekuasaan Inderapura
Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji & Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yg berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yg mencakup lembah Manjuto & Airdikit [disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto], & Muko-muko [Lima Koto], sistem pemerintahannya tak jauh berbeda. Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah [Bandar Sepuluh] yg dipimpin oleh Rajo nan Ampek [4 orang yg bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai].
Kawasan ini merupaken semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari [negeri], yg juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yg terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin [kepala yg bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai]. Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang [peroatin nan kurang satu enam puluh]. Para menteri & peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.
Raja-raja Inderapura
1550 Sultan Munawar Syah,
Raja Mamulia
1580 Raja Dewi
1616 Raja Itam
1624 Raja Besar
1625 Raja Puti
1633 Sultan Muzzaffar Syah, Raja Malfarsyah
1660 Sultan Muhammad Syah
1691 Sultan Mansur Syah
1696 Raja Pesisir
1760 Raja Pesisir II
1790 Raja Pesisir III
Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda
Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan. Walau pada tahun 1691 kawasan Anak Sungai di bawah Raja Adil, melepaskan diri dari Inderapura & menjadi kerajaan sendiri, yg pada awalnya didukung oleh Inggris. Namun tak lama berselang ia mangkat & digantikan oleh anaknya yg bergelar Sultan Gulemat [1691-1716].
Sultan Gulemat tak berhasil menjadikan kawasan itu stabil & kemudian juga kehilangan dukungan dari para menteri yg ada pada kawasan tersebut. Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, & juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh [disebut sebagai panglima] di Tiku & Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yg biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten. Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yg mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura.
Raja Puti yg memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, & banyak orang ditawan & dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura & Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti. Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda [VOC].
Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yg merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem matrilineal. Akibatnya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah & kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yg disepakati tahun 1663 & memberikan VOC hak monopoli pembelian lada, & hak pengerjaan tambang emas. Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, & Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yg berkedudukan di Manjuto.
Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yg dipimpin oleh Daeng Maruppa yg kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan Daeng Mabela yg bergelar Sultan Seian, berdasarkan catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk EIC. Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah [1691-1696], pada masa pemerintahannya bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yg tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia & digantikan oleh Raja Pesisir, yg baru berusia 6 tahun & pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya.
Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan & berhasil mengendalikan Inderapura. Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu & meninggal di sana [1824].
No comments:
Post a Comment