Horor Takokak 1948: Sejarah yang Terlupakan Menu Sejarah Manusia

"Perhatikan Masa Lalu mu, untuk hari esok mu"

Post Top Ad

Tuesday, 27 September 2016

Horor Takokak 1948: Sejarah yang Terlupakan




Horor Takokak 1948: Sejarah yang Terlupakan
Ilustrasi horor di Takokak, Cianjur, 1948. (Foto: arsipindonesia.com)




BEBERAPA hari lalu kita merayakan Hari Pahlawan dengan khidmat. Kita mengenang betapa para pahlawan telah mengantarkan kita dalam kondisi saat ini sebagai bangsa yang besar, terutama dalam perang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan kita rebut dan pertahankan terutama selama era Perang Kemerdekaan. Dalam pelajaran-pelajaransejarahdi Indonesia, era Perang Kemerdekaan (1945-1949) kerap dikenang sebagai masa-masa berjayanya kaum bersenjata menghalau Belanda yang ingin kembali menguasai republik ini. Dengan mitos senjata bambu runcing, generasi yang dikenal sebagai Angkatan 45 dimunculkan sebagai bagian sejarah terbaik sekaligus heroik. Tiap tahun bangsa ini selalu mengakbarkan ihwal tersebut dalam setiap seremoni peringatan Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan.

Tentunya tidak ada yang keliru dari upaya mengenang tentang cerita kejayaan itu. Namun, eloknya, kebanggaan tersebut harus pula diiringi kesadaran bawa kemerdekaan itu tidak melulu berisi kisah-kisah tentang kejayaan dan kemenangan. Di sisi lain, ada juga cerita-cerita menyedihkan yang malah selalu terlupakan untuk dikenang sebagai ekses buruk dari adanya perang yang pernah melanda negeri kita.

Horor Takokak 1948 adalah salah satu dari kisah sedih yang masih menjadi misteri hingga hari ini. Tidak banyak orang tahu, di kawasan perkebunan teh yang masuk dalam wilayah Cianjur bagian selatan tersebut, 67 tahun lalu telah terjadi pembantaian besar-besaran yang pernah dilakukan oleh militer Belanda terhadap kaum republiken. Bagaimana bisa peristiwa itu terjadi?

Ekses Perjanjian Renville Pada 8 Desember 1947, bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat), dilangsungkanlah perundingan antara Belanda dan Indonesia yang ditengahi oleh Komisi Jasa-Jasa Baik (beranggotakan Amerika Serikat, Belgia, dan Australia). Dalam perundingan itu, banyak poin kesepakatan yang dinilai berbagai pihak sangat merugikan Indonesia. Salah satunya keputusan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus mengosongkan Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur dan memindahkan pasukannya ke daerah republik yang diklaim Belanda hanya meliputi kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.

Sebagaimana ditulis dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968), hasil kesepakatan Perjanjian Renville diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri (lewat Letnan Kolonel Soetoko) telah mememerintahkan pucuk pimpinan Divisi Siliwangi untuk tetap mengoordinasikan perlawanan bersenjata di Tanah Pasundan.

Untuk mengelabui pihak Belanda, tentu saja pasukan-pasukan ini beraksi tidak mengatasnamakan Divisi Siliwangi. Mereka bergerak sebagai “pasukan liar” yang seolah-olah tidak berkoordinasi dengan pihak republik. Sebut saja salah satunya adalah Kesatuan Djaja Pangrerot di Cililin yang tadinya berasal dari Yon Sugiharto.

Pembersihan di Daerah Pendudukan Namun, aksi rahasia yang dilakukan TNI itu bukannya tidak tercium oleh pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi.
Sumber : http://nasional.sindonews.com/




No comments:

Post a Comment

Post Top Ad